Kebutuhan alat transportasi di bidang maritim sangat diperlukan bagi negara Indonesia sebagai negara maritim dengan luas wilayah laut terbesar di dunia dan garis pantai terpanjang kedua di dunia (http :// ejurnal. its.ac.id/ index.php /teknik/ article/viewFile/29701/4957).
Dengan banyaknya jumlah kapal yang berada diperairan Indonesia sangat memungkinkan untuk terjadinya kecelakaan kapal. Kecelakaan kapal dapat terjadi karena faktor iklim dan cuaca serta faktor teknis ataupun human error. Banyaknya kecelakaan kapal di daerah perairan Indonesia membuat industri salvage di Indonesia sangatlah berperan penting dalam penanganan pada kecelakaan kapal sebagai alat bantu penyelamatan kapal atau pengangkatan kapal tenggelam.
Berdasarkan Peraturan Menteri No.71 tahun 2013, Salvage adalah pekerjaan untuk memberikan pertolongan terhadap kapal dan/atau muatannya yang mengalami kecelakaan kapal atau dalam keadaan bahaya di perairan termasuk mengangkat kerangka kapal atau rintangan bawah air atau benda lainnya.
Bermacam-macam jenis kecelakaan yang dihadapi, mulai dari tabrakan antar kapal, bocornya lambung karena menabrak karang, terbaliknya kapal akibat kelebihan muatan hingga cuaca yang buruk atau gelombang yang tinggi.
Berdasarkan data, pengangkatan kerangka kapal/ pembersihan alur pelayaran pada tahun 2016, ada sekitar 15 kerangka kapal yang diangkat oleh perusahaan salvage diperairan Indonesia.
(https://id.scribd.com/document/370489659/Periksa-Data-Pengangkatan-Kerangka-Kapal-Pembersihan-Alur-Pelayaran-Tahun-2016-dan-Perbandingan-Data-Informasi-Perusahaan-Kapal).
Pekerjaan pada industri salvage sangatlah berisiko tinggi. Hal tersebut dikarenakan kondisi perairan sulit untuk dilewati, faktor keamanan peralatan, hingga risiko yang diakibatkan dari kapal itu sendiri. Sehingga Menteri Perhubungan menerbitkan peraturan baru No.30/2018 Tentang Salvage Dan/Atau Pekerjaan Bawah Air. Peraturan ini merupakan perubahan kedua atas peraturan Menteri sebelumnya yaitu Peraturan Menteri No.71/2013.
Berikut ini beberapa hal yang diatur dalam peraturan baru No.30/2018 Tentang Salvage Dan/Atau Pekerjaan Bawah Air :
(1) Izin Kegiatan Salvage
Setiap perusahaan yang ingin melakukan kegiatan Salvage wajib memperoleh izin Kegiatan Salvage dari Direktur Jenderal Perhubungan Laut (Direktur Jenderal).
Izin kegiatan dapat diperoleh melalui pengajuan Permohonan kepada Direktur Jenderal sesuai dengan Format 5 Lampiran yang dalam PM NO.38/2018.
Untuk memperoleh izin kegiatan Salvage melalui Metode Pemotongan atau Penutuhan (srapping) dilengkapi dengan syarat :
a. Surat pengghapusan kapal (delettion cetificate);
b. Kerja sama/kontrak dengan badan usaha yang menampung hasil pemotongan atau penutupan (srapping).
(2) Pengawasan terhadap kerangka kapal dan atau muatan yang belum diangkat
Bahwa Pemilik kapal memiliki kewajiban berkoordinasi dengan Unit Pelaksana Teknis (UPT) terdekat untuk melakukan pengawasan kerangka kapal dan/muatan yang belum diangkat.
Bahwa pemilik kapal bertanggungjawab atas segala bentuk kerusakan atau kehilangan kerangka kapal dan atau/muatannya.
Segala biaya yang timbul dari kegiatan pengawasan terhadap kerangka kapal dan/atau muatannya menjadi tanggungjawab pemilik kerangka dan /atau muatannya.
(3) Penemuan kerangka kapal dan muatannya
Apabila kerangka kapal dan /atau muatannya ditemukan berdasarkan laporan masyarakat dan tidak diketahui pemiliknya maka Direktur Jenderal Perhubungan Laut akan melakukan pengumuman ditemukannya kerangka kapal dan /atau muatannya sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut paling lama 30 hari (tiga puluh) hari kalender melalui media cetak dan /atau elektronik nasional dan juga memberikan pemberitahuan tertulis kepada instansi terkait antara lain Kementerian Koordinator Bidang kemaritiman, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Pertahanan, K Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup dan Pusat Hidrografi dan Oseanografi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut .
(4) Penyingkiran kerangka kapal dan muatannya
Penyingkiran kerangka kapal dan muatannya oleh Badan Usaha Salvage dilaksanakan setelah memperoleh pelimpahan dari Direktur Jenderal.
Persyaratan Permohonan sesuai dengan Pasal 16 ayat (3) PM No.71/2018.
Hasil kegiatan penyingkiran kerangka kapal dan/atau muatannya yang dilakukan melalui anggaran negara, hasil tersebut akan menjadi hak negara dan akan dilakukan pelelangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Hasil kegiatan penyingkiran kerangka kapal dan/atau muatannya yang dilakukan melalui anggaran Badan Usaha Salvage dan/atau Pekerjaan Bawah Air, maka biaya operasional penyingkiran kerangka kapal dan/atau muatan diperhitungkan dari hasil penyingkiran setelah dikurangi kewajiban pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak.